Resensi Seteru 1 Guru Karya Haris Priyatna



Seteru 1 Guru
Karya : Haris Priyatna
Penerbit : Mizan Media Utama
Tebal buku : 243
Buku seteru satu guru adalah buku yang mengisahkan tiga murid dari Tjokroaminoto yaitu Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo yang memiliki karakteristik yang berbeda untuk menciptakan Indonesia yang merdeka. Buku ini terdapat berbagai bagian dan di dalam bagiannya terdapat bab-bab yang bab satu dengan bab lainnya memiliki kisah yang berbeda-beda. Untuk bagian pertama yaitu “Kemelut” terdiri dari empat bab yang inti sarinya Soeparto atau dikenal dengan Musso kembali ke Indonesia tepat tanggal 22 Agustus setelah 23 tahun tinggal di Moskow,Uni Soviet yang merupakan negara proletar. Musso juga merupakan salah satu paling terkenal di PKI (Partai Komunis Indonesia) 1924-1926, setelah kepulangannya ke Indonesia, Musso mengadakan Tabligh Akbar yang tujuannya mengambil alih pimpinan Front Demokrasi Rajyat (FDR) dan melebur Partai Komunis, Buruh, Sosialis dan Pesindo menjadi partai tunggal yaitu Partai Komunis Indonesia. Lalu menceritakan Kartosoewirjo salah satu pendiri partai Masyumi. Suatu hari diadakan rapat untuk membahas perjanjian Linggarjati, dalam rapat ini terdapat pro yaitu kabinet syahrir menyetujui dan kontra dari pihak masyumi masih tetap tidak ingin menyetujui perjanjian linggarjati. Namun, hasilnya perjanjian linggarjati diterima oleh presiden dan membuat sebagian partai masyumi kecewa. Saat kabinet syahrir jatuh dan untuk menggantikan syahrir presiden memberi amanat kepada amir untuk menggantikan siapa ketua yang pantas, saat itu Amir meminta seogando yaitu teman dekat kartosoewirjo untuk membujuk kartosoewirjo menjadi ketua penggantinya. Namun, Karto menolak dan akhirnya Amir menjadi ketua mengganti Syahrir. Enam bulan setelah perjanjian Linggarjati, Amir menandatangani perjanjian Renville, dan sontak membuat Karto semakin geram dan akhirnya mulai melakukan pemberontakan dengan langkah membekukan masyumi Jawa Barat, lalu membentuk pemerintah baru di Jawa Barat dengan meleburkan seluruh laskar Islam di Tentara Islam Indonesia (TII) dengan markas besar di Gunung Cepu.
Bagian kedua yaitu “Internaat” terdiri dari sepuluh bab yang inti sarinya menceritakan bagaimana Soekarno, Musso, dan Kartosoewirjo bertemu dan belajar ilmu yang diberikan oleh gurunya yaitu Tjokroaminoto. Awal ceritanya Soekarno mendapatkan ijazah ELS yang merupakan ijazah untuk melanjutkan sekolah ke HBS yang letaknya di Surabaya. Lalu orangtuanya yang tinggal di Mojokerto menitipkan anaknya ke H.O.S Tjokroaminoto di Jalan Peneleh Gang VII. Disanalah awal mulanya Musso, Kartosoewirjo dan Soekarno bertemu. Pertemuan pertama yaitu antara Soekarno dan Musso, disana Musso merupakan kakak kelasnya di HBS. Musso cukup dekat dengan Soekarno, saat Soekarno di bully oleh kaum anak Belanda, Musso lah yang mengancam apabila membuli Soekarno lagi  akan babak-belur, disini perawakan Musso sangat jago berkelahi, dan ketika sudah lulus pun Musso memberi buku-buku dan nasihat megenai kepemimpinan di berbagai dunia, hal inilah yang membuat Soekarno kagum pada Musso dan menjadikan Musso menjadi gurunya selain Tjokroaminoto. Lalu, untuk kisah pertemuan Soekarno dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo atau yang biasa disebut Karto, disini karto adalah adik kelas Soekarno yang sekolahnya bukan di HBS melainkan di NIAS yaitu sekolah dokter yang pendidikannya 10 tahun yaitu 3 tahun ELS dan 7 tahun untuk pendidikan dokternya. Karto dan Karno atau Soekarno di Indekos sangat dikenal kedekatannya, dimana ada Karto pasti ada Karno, dan memang Karto dan Karno sangat dekat selalu bersama dan selalu menceritakan percintaan mereka. Lalu disini juga menceritakan bagaimana merek bertiga berpisah, Musso sudah bekerja, Soekarno melanjutkan pendidikannya di THS di Bandung dan Karto melanjutkan pendidikan dokternya. Selain kisah mereka bertiga, disini dijelaskan juga bagaimana kedekatan Soekarno dengan sang guru yaitu Tjokroaminoto, kedekatannya mulai saat Tjokro selalu memberi buku-buku bacaan Nasionalisme kepada Soekarno. Lalu, disini juga Soekarno menikah dengan anak pertama Tjokro yaitu Oetari.
Bagian Ketiga yaitu .Kolminasi” terdapat enam bab yang inti sarinya kelanjutan dari bagian satu, yaitu Musso dan Kartosoewirjo yang melakukan pemberontakan kepada pimpinan Soekarno dengan jalan yang berbeda-beda. Untuk Musso melakukan pemberontakan melalui PKI, dengan menyerang Madiun, dan saat itu Madiun dikuasai PKI dan banyak hal-hal yang sangat keji seperti pembunuhan massal dari kaum biasa, anak santri, bahkan para ulama-ulama yang anggapan mereka merupakan suatu ancaman dan juga pesantren-pesantren di bakar. Lalu datanglah A.H. Nasution yang melakukan strategi untuk menaklukan PKI di Madiun, dan akhirnya PKI tersudut. Namun, Musso dan pimpinan-pimpinan lainnya berhasil melarikan diri. Tapi, sayangnya Musso tertangkap dan tewas ditembak. Untuk Kartosoewirjo melakukan pemberontakan melalui DI/TII, dalam hal ini Kartosoewirjo melakukan rencana pembunuhan Soekarno. Hal ini membuat tentara Indonesia yaitu Siliwangi turun tangan dan melakukan strategi untuk mengalahkan DI/TII, namun untuk melemahkannya sangat sulit karena DI/TII banyak didukung rakyat, maka dari itu siliwangi mendekati rakyat dan strategi ini melemahkan DI/TII. Pemasukan makanan dan sebagainya menjadi minim bagi DI/TII sehingga lambat laun anggota DI/TII menyerah dan meninggalkannya strategi ini disebut operasi pagar betis. Setelah DI/TII menyerah saat kondisi itu Kartosoewirjo dalam keadaan sangat sakit karena kekurangan asupan, maka dari itu Siliwangi membawanya kerumah sakit untuk menyembuhkannya selama 2 bulan lalu di bawa ke Mahkamah Agung menjadi terdakwa dan dikenai hukuman mati dengan tiga dakwaan : berbuat makar, pemberontakan terhadap kekuasaan yang sah, dan upaya pembunuhan presiden Soekarno.
Saat terjadi perseteruan tersebut sang guru yaitu Tjokroaminoto sudah meninggal dunia, tetapi yang menyaksikan perseteruan ini adalah Harun salah satu pengagum Tjokroaminoto yang selalu berkunjung ke Surabaya dan mengenal mereka bertiga. Harun mengungkapkan bahwa mereka mewarisi satu hal dari pak Tjokro yaitu sifat yang keras. Sifat inilah yang mrmbawa kepada keberhasilan atau kehancuran. Lalu mereka bertiga memiliki cita-cita yang sama yaitu : Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan sejahtera. Yang membedakannya jalan menuju Indonesia yang merdeka berbeda-beda.Dari buku ini, meskipun fiktif yang dilatar belakangi sejarah, menurut saya jalan ceritanya sangat menarik dan seakan-akan benar-benar nyata dan mungkin ini buku sejarah yang paling menarik yang saya baca seumur hidup saya. Hikmah yang saya pelajari dari buku ini jiwa nasionalisme yang dilakukan pemuda masa lalu patut dicontoh dan harus selalu diterapkan kepada kita, anak kita, bahkan cucu-cucu kita nantinya. Lalu selalu berjuang keras untuk mencapai tujuan kita, namun untuk mencapai tujuan yang kita inginkan harus dipikirkan matang-matang, dan jangan sampai apa yang kita capai merugikan orang lain.

Comments

Popular Posts